Jumat, 19 Oktober 2018

Fasad, Batil dan fasadnya akad

Nama : Devi Wulandari 
Nim    : 1610421051 
Kelas : Akuntansi B'16

al-buthlân (batil) dan al-fasâd(fasad) merupakan istilah dalam ushul fikih. Keduanya termasuk hukum al-wadh’i, yakni merupakan hukum atas hukum.
Al-Buthlân
Al-Buthlân secara bahasa dari bathalayabthulubathl[an] wa buthlân[an]; artinya batal atau sia-sia. Adapun secara istilah, al-buthlân (al-bâthil) adalah lawan dari ash-shihhah (ash-shahîh), yakni lawan dari absah. Karena itu bâthil bermakna: ‘adamu muwâfaqah amri asy-syâri’ (tidak sesuai ketentuan Asy-Syâri’). Maksudnya, tidak terwujudnya hasil dari perbuatan itu di dunia, yakni tidak mendatangkan balasan (ghayru mujzi`in), tidak membebaskan dari tanggungan (ghayr mubri`i li adz-dzimmah) dan tidak menggugurkan qadhâ’(ghayr musqithin li al-qadhâ’) serta mendatangkan sanksi di akhirat.
Shalat yang batil (batal) adalah yakni tidak memenuhi rukun atau syarat-syaratnya sehingga tidak membebaskan dari tanggungan dan tidak menggugurkan qadhâ’. Artinya, orang itu belum bebas dari tuntutan untuk melaksanakan shalat dan dia harus meng-qadhâ’-nya jika telah lewat. Jika ia tidak menunaikan atau tidak meng-qadhâ’-nya maka ia berdosa. Begitu pula puasa, zakat dan sebagainya.
Al-Bâthil terjadi karena dilarang secara asalnya atau terjadi kekosongan pada asal, asas atau substansinya. Dalam hal akad, al-bâthil itu jika larangan terjadi pada akadnya sendiri atau jika terjadi kekosongan (cacat) pada rukun atau syarat sahnya. Contoh: pernikahan dengan wanita yang haram dinikahi adalah batil sebab pernikahan itu dilarang; jual-beli ikan yang masih di dalam kolam adalah batil karena dilarang sejak asalnya dan itu merupakan jual-beli yang majhûl (jual-beli gharar, tidak jelas) pada asal/pokoknya, yaitu pada barang yang dijual.
Dalam suatu pernikahan yang batil tidak ada hak istimtâ’, tidak ada yang namanya suami atau istri sehingga hubungan keduanya adalah haram dan layak mendapat sanksi di akhirat. Dalam jual-beli batil tidak terjadi pertukaran pemilikan, tidak ada kebolehan memanfaatkan dan tidak ada hak men-tasharruf. Dengan kata lain, jual-beli yang batil mengakibatkan keharaman pemanfaatan (tasharruf) atas barang. Karena itu pemanfaatan dan tasharruf terhadap barang itu mendatangkan sanksi di akhirat.
Al-Fasâd
Al-Fasâd berbeda dengan al-bâthil. Batil itu tidak sesuai ketentuan Asy-Syâri’ dari sisi asal (pokok)-nya, yakni asalnya dilarang seperti jual-beli gharar; atau syarat yang tidak terpenuhi menyebabkan cacat pada asalnya. Adapun fasâd pada asal (pokok)-nya sesuai ketentuan Asy-Syâri’, tetapi sifatnya yang tidak menyebabkan cacat pada asal (pokok) menyalahi ketentuan Asy-Syâri’. Hal pokok dalam akad adalah rukun beserta syarat-syarat dari rukun itu, dan syarat-syarat sah akad. Jadi jika hal itu tidak terpenuhi maka batil. Jika yang tidak sesuai diluar rukun beserta syarat-syarat rukun itu dan bukan syarat sahnya maka menjadi fâsid.
Fasâd tidak tergambar ada pada ibadah. Sebab jika ditelaah rukun dan syarat-syarat dalam ibadah, bisa didapati bahwa semuanya berkaitan dengan asal atau pokok. Fasâd itu mungkin ada dalam muamalah. Fasâd bisa terjadi pada akad-akad yang memunculkan komitmen timbal-balik atau pertukaran kepemilikan seperti jual-beli, ijârahhawâlahsyirkah, dan sebagainya.
Sebagian ulama memasukkan fasad bisa terjadi pada akad pernikahan. Hal itu bukan dari sisi terakadkan atau tidaknya pernikahan, tetapi dari sisi diperoleh atau ditetapkan ada atau tidaknya implikasi dari akad pernikahan. Hanya bedanya, jika akad nikah itu batil maka tidak terjadi sama sekali dan jika ingin melanjutkan harus mengulang akad nikah, misalnya karena tidak ada dua orang saksi. Adapun jika fasad, maka belum terakadkan dalam arti tidak boleh dilanjutkan dan semua implikasinya belum didapat. Namun, jika sebab fasad itu dihilangkan maka akadnya sah, sempurna dan semua implikasinya ada, tidak perlu mengulangi akad. Misalnya, jika pernikahan tanpa ijin atau persetujuan lebih dulu dari mempelai wanita. Jika ia rela atau setuju maka akad nikah itu sah dan sempurna.
Contoh akad fasad, jual-beli orang kota dengan orang kampung adalah fâsid karena orang kampung tidak tahu harga dan situasi pasar. Namun, jika ia sampai di pasar dan tahu harga atau situasi pasar, jika ia menerima atau rela melanjutkan jual-beli itu, maka jual-belinya menjadi sah dan tidak perlu diulang akadnya; atau ia berhak membatalkan jual-beli itu.
Contoh lain, akad syirkah tetapi tidak ada yang menjadi pengelola yang dinyatakan dalam akad syirkah. Contoh: syirkah musâhamah (PT) dan koperasi. Keduanya merupakan syirkah yang batil, sebab cacat pada asal akad. Berbeda jika syirkahdengan harta (modal)-nya yang jelas jumlahnya tetapi belum jelas yang mana hartanya, maka syirkah itu fâsid. Jika harta itu dijelaskan yang mana maka syirkah itu sah dan sempurna. Begitu pula jika syirkah dengan pembagian laba berdasar jumlah atau angka bukan menurut nisbah dari keuntungan, maka syirkah itu fâsid. Jika disepakati pembagian laba menurut nisbah (prosentase) dari laba maka syirkah itu menjadi sah dan sempurna.
Contoh lain: jika mahar dalam akad nikah belum jelas atau ujrah dalam akad ijârah belum jelas, maka akad tersebut fâsid. Jika maharnya atau ujrah-nya disepakati secara jelas maka akadnya menjadi sah dan sempurna. Adapun jika tidak tercapai kesepakatan maka diberlakukan ketentuan mahar al-mitsli atau ajru al-mitsli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Manajemen Perpajakan

MANAJEMEN PAJAK MELALUI PERENCANAAN PAJAK Mata Kuliah Manajemen Pajak Dosen Pengampu: Diyah Probowulan Disusun Oleh:  1. Devi ...